Review Novel KKN di desa Penari

By Alfian Ahmad Saputra - Januari 10, 2022

 

Judul : KKN di desa Penari
Penulis : Simpleman
Penerbit : PT Bukune Kreatif Cipta
ISBN : 978-602-220-339-9
Ukuran : 22 cm
Tebal : 256 Halaman
Harga : Rp.77.000
 
Blurb
 
Saat motor melaju kencang menembus hutan, Widya mendengar tabuhan gamelan. Suaranya mendayu-dayu dan terasa semakin dekat. Tiba-tiba Widya melihat sesosok manusia tengah menelungkup seakan memasang pose menari. Ia berlenggak-lenggok mengikuti irama musik gamelan yang ditabuh cepat.

Siapa yang menari di malam gulita seperti ini?

Tiga puluh menit berlalu, dan atap rumah terlihat samar-samar dengan cahaya yang meski temaram bisa dilihat jelas oleh mata.
"Mbak... kita sudah sampai di desa."

Dari kisah yang menggemparkan dunia maya, KKN di Desa Penari kini diceritakan lewat lembar tulisan yang lebih rinci. Menuturkan kisah Widya, Nur, dan kawan-kawan, serta bagian bagian yang belum pernah dibagikan di mana pun sebelumnya.


Review

     Pertama kali mendengar judul ini saya mengetahui dari sebuah 'thread' di twitter. Saya hanya membaca kisah dari Widya dan buku ini sama persis seperti versi twitternya, hanya ditambah narasi dan epilog di belakang buku.

    Bercerita tentang sekolompok mahasiswa (Widya, Nur, Bima, Ayu, Anton dan Wahyu) yang melaksanakan kegiatan KKN. Mereka memilih salah satu desa plosok dipinggiran jawa timur. Sejak memulai kegiatan prokernya satu persatu mahasiswa tersebut mengalami kejadian supranatural seperti diperlihatkan mahluk besa hitam, hajatan ghoib di hutan, gumpalan rambut yang tiba-tiba muncul di sentong tempat mandi dan tempat minum.

     Cerita dibagi menjadi dua sudut pandang yaitu Widya dan Nur, kedunya saling melengkapi alur. Cerita yang disampaikan juga cukup megah dengan elemen-elemen Jawa seperti sesajen, punden dan barang keramat lainnya. Namun saya rasa pendalaman karakter yang kurang dalam, hanya kisah mistis yang terus diperlihatkan.

    Sebenarnya dari segi plot begitu menarik namun sangat disayangkan banyak kesalahan ejaan yang saya temukan, dan itu mengganggu sekali. Seperti saat Widya mandi dengan "Batok kepala" itu memang Batok kepala atau kelapa? Kata yang berulang disetiap kalimatnya. Buku ini memiliki pesan moral yang menarik namun pesan moral yang disampaikan kurang sampai ke saya karena hal-hal yang mengganggu tersebut.


"Buat apa manggil setan mas?
Kalau di depan saya saja
kelakuannya kayak setan"
 
Hal. 30

  • Share:

You Might Also Like

0 Comments