Judul : Laut Bercerita
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : KPG (Kapustakaan Populer Gramedia) Jakarta
ISBN : 978-602-424-694-5
Ukuran : 20 cm
Tebal : 379 Halaman
Harga : Rp.100.000
Sinopsis :
Jakarta, Maret 1998
Di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, mahasiswa
bernama Biru Laut disergap empat lelaki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya,
Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia dibawa ke sebuah tempat yang
tak dikenal. Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi, dipukul, ditendang,
digantung, dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting:
siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.
Jakarta, Juni 1998
Keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari Minggu Sore
memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut. Sang ayah akan
meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang ibu, satu piring
untuk Biru Laut, dan satu piring untuk si bungsu Asmara Jati. Mereka duduk
menanti dan menanti. Tapi Biru Laut tak kunjung muncul.
Jakarta, 2000
Asmara Jati, adik Biru Laut, beserta Tim Komisi Orang Hilang
yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang serta
merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali. Anjani, kekasih Laut,
para orangtua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota
keluarga mereka. Sementara Biru Laut, dari dasar laut yang sunyi bercerita
kepada kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan
kawan-kawannya.
Review :
Akhirnya buku pertama yang saya selesaikan pada tahun 2021. Buku yang sangat menguras emosi dan tentu termasuk buku yang tidak akan saya pinjamkan. Saya membeli novel ini ketika ada diskon di salah satu onlineshop dan setelah membaca review di salah satu laman aplikasi tanpa pikir panjang saya langsung membelinya. Benar saja cerita yang disajikan didalam buku ini begitu terasa nyata dan membuat perasaan menjadi marah, sedih bercampur aduk menjadi satu.
Bercerita tentang sekelompok mahasiswa aktivis yang berpihak kepada kaum petani ataupun buruh yang memperjuangkan hak-hak kemanusian pada zaman orde baru. meski dibawah tekanan dan bahaya mereka tetap berjuang. Tokoh utama dalam novel ini sama dengan judulnya Biru Laut, Laut merupakan mahasiswa jurusan sastra inggris yang berkuliah di salah satu universitas di Yogyakarta. Dia bergabung ke salah satu organisasi bernama Winatra. Dia mengikuti organisasi tersebut lewat peremuan yang juga mahasiswi disalah satu kampus, bernama Kinanti. Akhirnya Kinan memperkenalkan mahasiswa lain yang ikut dalam organisasi tersebut.
Dikarenakan kegiatan organisasi di anggap menentang pemerintah Winatra terus berpindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya, agar tidak tertangkap oleh aparat. Hingga pada suatu kejadian kerusuhan di kantor DPP PDI
Jalan Diponegor, Winatra dianggap sebagai dalang kerusuhan dan dianggap sebagai buronan. Terjadilah penculikan paksa oleh aparat negara. Para aktivis tersebut dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah dan disiksa secara bergantian. Ada beberapa yang sudah di lepaskan dan 13 orang sisanya masih di pertanyakan keberadaannya termasuk Laut dan Kinanti.
Cerita dibagi dalam 2 bagian yaitu Biru laut dan adeknya Asmara jati. Uniknya pada prolog kita akan disuguhkan oleh ending cerita ini, yang cukup membuat saya merinding dan sedih ketika membacanya. Alur cerita didalam buku ini maju-mundur. kejadian BAB satu menceritakan saat Laut ditangkap dan disiksa pada BAB berikutnya akan menceritakan saat Laut berjuang bersama teman-temannya, hingga seterusnya. Pada bagian Asmara Jati kita diceritakan bagaiman rasanya kehilangan salah satu orang yang kita sayangi tanpa tahu dia hidup atau mati.
Secara kesuluruhan buku ini cocok bagi teman-teman yang suka novel berlatarkan sejarah. Emosi yang dirasakan bercampur aduk ketika membaca buku ini. Meskipun buku ini fiksi namun tokoh, dan alur cerita didalam buku ini terasa nyata.
“Dia
pernah mengatakan, jangan takut kepada gelap. Gelap adalah bagian dari
kehidupan kita sehari-hari. Pada setiap gelap ada terang meski hanya
secercah, meski hanya di ujung lorong.Tapi menurut Sang Penyair, jangan
sampai kita tenggelam pada kekelaman. Kelam adalah lambang kepahitan,
keputus-asaan, dan rasa sia-sia. Jangan pernah membiarkan kekelaman
menguasai kita, apalagi menguasai Indonesia.”
Hal 06
Rating : 5/5 Bintang
Terima Kasih, Sudah berkunjung.
0 Comments